TRIBUNNEWS.COM/HASAN SAKRI GHOZALI
Dahulu, kerajaan Mataram Kuno (Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra) luluh lantak oleh amukannya sehingga Raja Mpu Sendok memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur.Candi Borobudur dan Candi Prambanan puncak karya budaya pada masa itu pun terkubur abu dan pasir selama ratusan tahun.
Tentu saja termasuk dua candi terkenal di
Gunung Merapi menyemburkan awan
Mas Penewu Surakso Hargo atau Mbah Maridjan, ikon kearifan lokal, abdi
Gunung Merapi merupakan gunung superaktif dan memiliki karakter ”aneh” dibanding gunung berapi lain di dunia. Berkali-kali ia memuntahkan lahar yang didahului gempa bumi.
Dahulu, kerajaan Mataram Kuno (Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra) luluh lantak oleh amukannya sehingga Raja Mpu Sendok memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur.Candi Borobudur dan Candi Prambanan puncak karya budaya pada masa itu pun terkubur abu dan pasir selama ratusan tahun.
Ketika kerajaan Mataram Baru (
Mataram Islam yang berada di dataran subur antara Gunung Merapi dan Laut Selatan mendapat dukungan Ratu Kidul, penguasa laut selatan dan Syeh Jumadil Qubro, penguasa gunung Merapi.
Awan panas Merapi yang pada 26 Oktober lalu
Pada waktu candhik olo
Harta Pusaka
Dalam perspektif ethno-ecology masyarakat lereng Merapi memiliki kearifan lokal (local wisdom) dalam memprediksi bencana yang bisa datang. Lahar adalah kategori bahwa Merapi beraktivitas seperti sehari-hari dan kondisi aman.
Wedhus gembel adalah kategori bahaya tahap awal. Wedhus gembel adalah awan panas bercampur abu, pasir, dan kerikil panas yang bisa menghanguskan dan membakar apa saja yang dia lewati. Awan panas ini jika dilihat dari jauh maka bentuknya seperti bulu kambing (wedhus) gembel .
Njebluk (meletus) adalah kategori bahaya tahap lanjut, kondisi sangat kritis sehingga semua harus mengungsi. Fase njebluk ini dalam rentang waktu yang lama, belum tentu dalam seumur hiduporang bisa mengalami fase Merapi njebluk ini, yakni sewaktu Merapi memuntahkan isi perutnya secara eksplosif.
Dua hari setelah erupsi Merapi ternyata sebagian masyarakat telah kembali menengok rumah dan harta bendanya. Masyarakat pun kembali enggan untuk direlokasi ke tempat yang lebih aman menurut pemerintah.
Masyarakat tidak mau direlokasi atau ikut transmigrasi karena memiliki pemahaman bahwa pertama; tanah warisan orang tua adalah harta pusaka yang harus dilindungi dan dipelihara. Falsafah ini terungkap dalam kalimat sadumuk bathuk senyari bumi tak bela nganti mati (bahwa tanah adalah simbol harga diri, harus dipertahankan walau sampai mati sekalipun).
Kedua; orang Jawa sangat terikat oleh relasi terhadap makam nenek moyang. Secara periodik orang Jawa mengunjungi, merawat , dan nyekar makam orang tua dan leluhur. Ini adalah tanda bakti mereka pada leluhur. Mengunjungi makam leluhur juga mengukuhkan keberadaan mereka sebagaiorang Jawa. Jika orang Jawa tidak tahu atau tidak memiliki makam leluhur, maka hidup mereka menjadi hampa makna.
Masyarakat lereng Merapi sedang terluka karena kehilangan sanak saudara dan harta benda. Pemerintah jangan membuat luka kedua dengan mewacanakan, apalagi memaksa, masyarakat direlokasi atau ditransmigrasikan. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat harus diperhatikan. (*)
0 komentar:
Posting Komentar